Sabtu, 21 November 2015

Kenapa beliau bisa, kita tidak :)

Insipirasi - Dr Lie Dharmawan & Perjuangan Bangun RS Apung Swasta Pertama Indonesia Kepedulian terhadap warga miskin dan sulit mendapat layanan kesehatan mendorong dr Lie Dharmawan membangun rumah sakit apung. Setelah menghabiskan waktu 4 tahun, kapal yang berfungsi sebagai rumah sakit ini siap mengarungi samudra menyambangi masyarakat yang membutuhkan. "Ini adalah rumah sakit apung pertama milik swasta di Indonesia. Saya yakin ini adalah rumah sakit apung pertama dan akan diikuti banyak-banyak lagi rumah sakit lainnya yang pasti akan membawakan keuntungan dan kebahagian bagi bangsa dan negara kita," tegas dr Lie kepada detikHealth seperti ditulis Senin (18/3/2013). Gagasan pembuatan rumah sakit apung ini sebenarnya sudah ada di benak dr Lie sejak tahun 2008, namun baru bisa direalisasikan tahun 2013. Lamanya proses ini disebabkan karena adanya pro dan kontra, apalagi referensi mengenai rumah sakit apung di Indonesia belum ada. Sebenarnya konsep rumah sakit apung di Indonesia sudah ada, namun milik tentara dan hanya digunakan ketika perang, sedangkan yang dimiliki swasta tidak ada. Maka lewat yayasan doctorSHARE yang ia dirikan, dr Lie berupaya menggalang bantuan, baik moriil dan materiil untuk mewujudkan idenya. Selama 4 tahun menyelesaikan proyek rumah sakit apung ini, tim doctorSHARE awalnya sulit menemukan jenis kapal yang sesuai. Beberapa jenis kapal dipertimbangkan untuk dicoba, termasuk kapal tongkang, namun dianggap tidak layak karena badannya terlalu lebar. Dari segi bahan juga demikian. Sempat diusulkan menggunakan kapal berbahan fiber, namun urung karena mudah pecah ketika menabrak. Akhirnya diputuskan menggunakan perahu nelayan yang sederhana karena dianggap lebih memadai. Setelah jadi, kapal itupun berganti nama menjadi 'Floating Hospital'. "Kapal ini memang secara fisik kecil, ini adalah floating hosiptal yang terkecil di dunia. Tapi sebagai lawannya, sebagai kebailkannya, semangat yang menggebu-gebu, semangat yang membara tidak pernah putus asa selama 4 tahun merancang kapal ini dan bekerja untuk keberhasilan kapal ini," terang dr Lie. Disebut kecil karena Floating Hospital ini sejatinya adalah kapal berukuran panjang 23,5 meter, lebar 6,55 meter dan bobot mati 114 ton. Kapal ini terbagi menjadi tiga dek. Dek atas untuk nahkoda dan tempat para relawan, dek tengah berisi ruangan steril dan ruang operasi, dek bawah adalah laboratorium. Pembangunan rumah sakit ini menghabiskan dana Rp 3 miliar dari rencana semula Rp 6 miliar. Dana tersebut sepenuhnya diperoleh dari sponsor. Menurut dr Lie, ada sponsor yang menyumbang dengan cara memberikan diskon untuk peralatan dan perlengkapan yang diperlukan, jadi bisa menghemat biaya sekian banyak. Sebagai pilot project, kapal ini melakukan pelayaran perdananya pada 16 - 17 Maret lalu di pulau Panggang, kepulauan Seribu. Pelayanan kesehatan yang diberikan berupa penyuluhan, pemeriksaan kesehatan, bedah minor dan bedah mayor. Sebanyak 25 dokter dan 25 orang relawan disiapkan untuk melayani pasien. Yang istimewa, Floating Hospital ini dibangun untuk memberikan pelayanan kesehatan cuma-cuma. Dr Lie tergerak hatinya karena melihat kenyataan banyak masyarakat yang membutuhkan pertolongan medis, tapi belum mendapat kesempatan karena berbagai faktor, terutama faktor demografis dan faktor finansial. "Kami akan berusaha mendapatkan dana dari donatur. Kami akan membuka sebuah klinik di Jakarta dan penghasilannya digunakan untuk membiayai kelangsungan hidup doctorSHARE. Kami belum tahu apa lagi yang dapat kami lakukan untuk mendapatkan dana bagi kelangsungan pelayanan yang terus kami kerjakan. Tapi satu yang menjadi concern kami, masyarakat tidak akan kami bebani dengan pembayaran," ungkap dr Lie. Dalam sehari, dr Lie berhasil melakukan 3 operasi di atas kapal. Walau kapal sesekali bergoyang karena ombak, dokter yang kesehariannya bertugas sebagai kepala dokter bedah di RS Husada ini bisa melakukan operasi dengan baik. Direncanakan akan ada 15 pasien yang menjalani operasi bedah di atas kapal, sedangkan penyuluhan kesehatan dilakukan di Balai Karang Taruna. Ada beberapa kendala yang ditemui dalam pelayaran pertama Floating Hospital ini, salah satunya adalah kecepatan kapal yang hanya 6 - 7 knot. Jika dikonversikan, kecepatannya adalah sekitar 11 - 13 km/jam, cukup lambat jika dibandingkan speed boat. Kendala lain adalah beberapa peralatan yang belum bisa dioperasikan, misalnya alat rontgen. "Sesudah pulang dari Kepulauan Seribu, kami akan mereview apa yang menjadi kekurangan kami, misalnya kapal ini terlalu pelan jalannya. Kalau memungkinkan, dari segi finansial kami bisa mendapatkan dana, lalu secara teknis mesinnya bisa diganti, kami akan mengganti dengan mesin yang lebih baik dan besar agar kapal ini bisa lebih cepat jalannya," terang dr Lie. Masalah mesin tentu menjadi permasalahan yang cukup serius karena kapal ini direncanakan menjelajah daerah-daerah terpencil, lebih terpencil dari kepulauan seribu yang masih masuk dalam wilayah DKI Jakarta. Jadi bisa dibayangkan, sarana dan prasarananya tentu jauh lebih minim. Karena tidak memungut biaya dari pasien, dr Lie berharap bisa menjalin kerjasama dengan aparat-aparat setempat. Misalnya jika di suatu tempat sudah ada puskesmas, dokter setempat diharapkan bisa menjadi ujung tombak mencari pasien yang butuh pelayanan. Hal itu akan mempersingkat waktu singgah sehingga tim bisa melanjutkan ke tempat lain. "Kami merencanakan tujuan kami berikutnya bulan April ini Bangka Belitung dan Kalimantan Barat. Sesudah itu kami akan ke Bali, Sumba, Flores, Timor Barat dan kepulauan Kei karena kami sudah punya home base di sana. Kami punya 2 panti di sana, Therapeutic Feeding Center KAI. Ada 2 pulau Kei besar dan Kei kecil," terang dr Lie. Profil : Nama : Dr. Lie A. Dharmawan, Ph.D, Sp.B, Sp.BTKV (Li De Mei). Tempat, tanggal lahir : Padang, 16 April 1946. Orang tua : Lie Goan Hoey dan Pek Leng Kiau (Julita Diana). Isteri : Tan Lie Tjhoen (Listijani Gunawan). Anak : - Lie Mei Phing (29 April 1978) - Lie Ching Ming (9 November 1980) - Lie Mei Sing (16 September 1992) Pendidikan : - SD Ying Shi, Padang - SMP Katolik Pius, Padang - SMA Don Bosco, Padang - S1 Free University, Jerman - S2 University Hospital, Cologne - S3 Free University Berlin, Jerman Pekerjaan/kiprah organisasi - Pendiri Mahasiswa Kedokteran Indonesia di Berlin (1971) - Pengurus Perhimpunan Dokter Indonesia di Jerman (1981-1984) - Aktivis gereja Katolik, Jakarta (1985-sekarang) - Kepala bagian bedah RS Husada, Jakarta (2000-sekarang) - Kepala Serikat Karyawan RS Husada (2000-2006) - Kepala Komite Medik RS Husada (2006-2009) - Wakil Ketua INTI (Perhimpunan Indonesia-Tionghoa) DKI Jakarta (2000-sekarang) - Ketua INTI Pusat bidang kesehatan (2005-sekarang) - Pendiri Yayasan Dokter Peduli/doctorSHARE (2008-sekarang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar